Inilah Tike, Makanan Khas Kemarau Warga Pesisir Utara

FOTO/PUSKAPIK/ISTIMEWA

PUSKAPIK.COM, Brebes – Ada makanan khas musim kemarau bagi warga pesisir utara Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes.

Memanfaatkan masa paceklik selama kemarau dengan mencari umbi rumput rawa liar. Umbi rumput ini diolah menjadi makanan ringan semacam emping.

Warga menyebut rumput rawa ini dengan nama Tike. Pada saat musim basah atau musim hujan, tanaman ini tumbuh subur di rawa. Namun saat kemarau, tanaman ini akan mengering pada bagian daun dan menyisakan umbi yang berada di kedalaman 15 sampai 20 cm di bawah permukaan tanah.

Umbi rumput ini berukuran sebesar kelereng berwarna hitam kecoklatan. Umbi ini lah yang dicari warga untuk diolah menjadi cemilan lezat yang memiliki nilai jual tinggi.

Salah satu desa di Kecamatan Tanjung yang warganya banyak beralih pekerjaan sebagai pencari tike adalah Desa Tengguli. Pekerjaan warga Desa Tengguli ini sebenarnya adalah buruh tani, namun saat musim kemarau, tidak ada garapan di sawah, mereka beralih menjadi perajin emping tike.

Setiap hari secara berkelompok mereka mendatangi rawa rawa kering untuk mengangkat umbi dari dalam tanah. Peralatan yang digunakan cukup sederhana, hanya menggunakan cangkul dan kayu.

Warto (40) warga Desa Tengguli menjelaskan, pekerjaan mencari tike ini digeluti selama musim kemarau saat tidak ada pekerjaan menggarap sawah. Tidak hanya kawasan Tanjung, Warto dan warga lain juga sering mencari tike sampai ke luar kecamatan.

“Kalau tidak ada garapan sawah ya cari tike. Kadang mencarinya sampai ke Brebes naik mobil atau motor. Hasilnya cukup lah buat beli beras,” tutur Warto disela kesibukannya menggali tanah di Desa Tengguli, Selasa 1 September 2020 siang.

Tidak hanya laki laki, pekerjaan mencari tike ini juga dilakukan oleh ibu-ibu. Mereka membaur bersama warga lain mengais umbi dari dalam tanah.

Rahayu (29) yang juga warga Desa Tengguli menyebutkan, mencari tike bisa dijadikan alternatif saat tidak ada pekerjaan merogol bawang merah. Menurut Rahayu, pekerjaan ini sudah dilakoni sejak dua minggu lalu.

“Saya sih ikut ikutan saja. Baru dua minggunan nyari tike. Kalau kesehariannya sih saya kerja merogol bawang merah,” terang Rahayu.

Umbi rumput yang telah diambil dari tanah, kemudian dibersihkan dari semua kotoran, termasuk sisa sisa akar rumput. Setelah bersih, umbi ini disangrai hingga layu. Proses selanjutnya ditumbuk menjadi emping. Proses ini menggunakan alat sederhana, yakni batu sebagai alas dan tingkat besi atau kayu untuk menumbuk.

Umbi yang sudah pipih ini dijemur selama sehari untuk mengurangi kandungan airnya. Selanjutnya emping pun siap digoreng dan disantap.

Proses pembuatan makanan ini tidak menggunakan bahan campuran. Rasanya agak manis dan bila suka rasa asin bisa ditaburi sedikit garam usai digoreng. Sensasi rasa unik inilah yang menjadikan tike banyak digemari orang.

“Rasanya unik dan tidak membosankan. Beda sama emping melinjo, ini rasanya agak manis,” ucap Wahyudi (39) salah seorang pembeli tike, warga Dukuh Sontal.

Emping tike ini dijual dalam bentuk basah dan kering. Harga emping tike basah dijual ke pengepul Rp.75 ribu per kilo, sedangkan yang kering Rp.150 ribu per kilo.

Emping setengah jadi ini kemudian digoreng dengan minyak panas dan dikemas dengan plastik. Harga tike matang bervariasi tergantung besar kecil kemasannya. Kemasan kecil dijual ke konsumen Rp.5000 sedangkan kemasan sedang Rp.12 ribu.

Kepala Desa Tengguli, Agung Aqil Aghniya mengatakan, mencari tike ini merupakan pekerjaan alternatif bagi warga selama kemarau. Mereka pada umumnya merupakan buruh tani.

“Ini memang menjadi alternstif penghasilan tambahan. Saat tidak bisa bercocok tanam, para pekerjanya mencari tike. Ini jenis rumput rawa yang umbinya bisa dijadikan makanan,” katanya.

Kontributor : Fahri Latief
Editor : Amin Nurrokhman

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten dilindungi oleh Hak Cipta!!