JENUH, bosan, jengah atau bahkan muak. Yaaaaa, barangkali keseriusan otak dan memainkan nalar dalam menyikapi keriuhan politik menjelang Pilkada hampir-hampir seperti mengipasi kincir angin. Konyol alias pekerjaan sia-sia.
Tapi apa lacur…..
Karena ritual demokrasi lima tahunan ini sudah telanjur jadi hajat orang banyak. Maka kita sebagai rakyat juga boleh ikut mencicipi rasanya. Meski tidak dalam bentuk kekuasaan (karena kita cuma rakyat yang tidak sedang berebut kekuasaan). Jadi sebaiknya cukup nikmati saja pesta demokrasi ini dengan penuh kegembiraan.
Mari umpamakan demokrasi itu, Pilkada itu, kayak internet. Sejak ada internet, mau tak mau, suka tak suka, hidup jadi berubah. Yang punya HP, gadget, atau perangkat internet lain, dan pak tani atau generasi tua yang buta internet, semua kena imbas. Meski buta internet, kita terimas oleh hidup serba cepat, tepat, praktis dan mungkin instan. Jadi demokrasi itu bak pil pahit yang harus kita telan.
Baca Juga
Kita telan? Ya, karena siapapun kita, kalau masih disebut masyarakat Pemalang, akan terimbas kebijakan politik dari siapapun yang nanti bakal terpilih memimpin Pemalang dalam lima tahun ke depan.
Karena kebijakan politik telanjur masuk ke semua ruang hidup kita. Sampai ke WC dan kamar tidur kita, tak lepas dari kebijakan politik. Harga semen, beras, gula, dan kebutuhan lainnya, tak lepas dari regulasi politik. Bahkan ibadah dan kita ngomong dan bermasyarakat selalu diliputi politik.
Tapi sruput kopinya dulu, hela nafas. Jangan terlalu serius ha…ha…ha…. Toh selain politik praktis, masih ada Tuhan yang lebih hebat, adil, dan maha segalanya dari politik. Jadi, santai sajalah…..
Tak perlu saling mencaci-maki, mencela, mencibir, menghakimi satu sama lainnya. Kritis? Wajib! Karena kita berhak dan harus paham betul rekam jejak semua kandidat.
Hanya, kita tak perlu merasa paling benar sedangkan pihak lainnya dianggap salah. Karena yang jauh lebih penting dari tujuan Pilkada adalah, bagaimana menjadikan Pemalang ini ke depan lebih baik. Bukan siapa yang pantas dan harus jadi bupati.
Apalagi demokrasi kita sampai hari ini sebenarnya masih saja “seolah-olah”. Faktanya, politik justru jatuh pada kubangan materialistik dengan pragmatisme yang akut.
Rakyat selalu “dipaksa†duduk manis menonton drama antarelit partai. Para elite partai politik lah yang punya kuasa penuh untuk menentukan siapa saja yang akan dipilih.
Namun, suka tidak suka, mau tidak mau, ketiga calon pemimpin sudah disuguhkan di meja demokrasi saat ini. Agus Sukoco, Mukti Agung Wibowo dan Iskandar Ali Syahbana.
Dan demokrasi memberikan kita kebebasan untuk berpendapat dan memilih. Bahkan memilih untuk tidak memilih dari ketiga kandidat yang ada juga pilihan. Hargai perbedaan, karena sejatinya perbedaan adalah rahmat Tuhan yang harus kita syukuri.
Tetap jaga warasmu, karena siapapun nanti bupatinya, kita cuma rakyat!!!
Semangat siang Pemalangku
Salam Demokrasi
Heru Kundhimiarso
Pemimpin Umum puskapik.com
Baca Juga