PUSKAPIK.COM, Pemalang- Di balik megahnya Masjid Agung Nurul Kalam, Pemalang yang baru selesai dipugar total, 27 September lalu, ada cerita di balik pembangunnya. Ada 2 syarat yang harus dipenuhi sebelum pembangunan dimulai, menghidupkan kembali sumur tua yang ada di lingkungan masjid dan tetap mempertahankan letak mimbar tempat imam masjid.
Ide pemugaran muncul dari Bupati Pemalang, H Junaedi dengan anggaran APBD melalui dana Hibah senilai 39,5 M dan dikerjakan oleh PT Anggaza Widya Ridhamulia melalui lelang.
Cerita ini disampaikan Ketua Dewan Pembina Masjid Agung Pemalang, Muntoha Senin 19 Oktober 2020. Kepada puskapik.com dia menuturkan cerita dalam pembangunan masjid 4 lantai itu.
Baca Juga
“Masjid Agung Pemalang dibangun sekitar tahun 1700 an oleh mbah Nur Kalam, ulama berpengaruh yang makamnya ada di halaman belakang masjid, ” katanya.
Menurut Muntoha, Mbah Nur Kalam sendiri adalah seorang ulama dan dipercaya sebagai penasehat Bupati Pemalang di masa itu. Yang kemudian namanya diabadikan menjadi nama masjid kebanggaan warga Pemalang ini.
Saat pengerjaan proyek pembangunan, Muntoha dipercaya sebagai pengawas proyek pembangunan dari perwakilan pengurus masjid. Ia juga dipercaya oleh bupati untuk mencari lokasi sumur tua sebagai syarat utama pembangunan.
“Secara nasab atau keturunan berdasarkan informasi dari keluarga besar, saya masih termasuk keturunan dari Mbah Kalam. Itu juga yang memudahkan saya akhirnya menemukan sumur tua yang kondisinya saat itu tidak terlihat secara kasat mata karena sudah mengalami proses pengurukan, ” ujarnya.
Setelah ketemu, masalahpun tidak berhenti di situ. Pekerja penggali sumur dan warga setempat enggan mengerjakan penggalian sumur tua tersebut karena takut. Sumur tua itu baru ditemukan di kedalaman 3,5 meter.
“Nggak ada yang berani tukangnya, sampai akhirnya saya minta bantuan keluarga saya dari Pedurungan, Taman, “kata Muntoha.
Singkat cerita, sumurpun digali, setelah beberapa meter menuju sumber air, tiba-tiba semua pekerja keluar dengan terburu-buru. Muntoha yang mengawasipun kaget, lalu bertanya kepada mereka.
“Saya tanya katanya ada suara, ‘aja jero-jero ngko ambruk’, “ucap Muntoha menirukan jawaban mereka.
Di dalam sumur tua tersebut terdapat batu persegi yang lumayan besar. Batu tersebut rencananya akan dihancurkan untuk diangkat. Namun Muntoha mendapat saran dari seseorang yang dipercayai, agar tidak memindahkan batu itu karena dipercaya batu itu berfungsi sebagai penjernih air baik saat musim hujan atau kemarau.
Selain sumur, Muntoha juga menceritakan keanehan saat perobohan menara masjid.
“Menara mau dirobohkan, namun saat ketiga pilar sudah dipotong menyisakan satu pilar, meskipun sudah ditarik menggunakan alat berat tetapi tidak bisa roboh sampai kawat seling yang buat narik putus. Akhirnya saya mengajak saudara yang juga keturunan Mbah Kalam untuk berdoa dan bertawasul disekitar menara masjid yang akan dirobohkan itu. Esok harinya tetap tidak bisa roboh, saya di lokasi terus memantau dan mengawasi, sampai akhirnya saya beranjak pergi karena ada agenda keluar kota, selang beberapa langkah meninggalkan masjid menara itu tiba-tiba roboh, “ungkapnya.
Yang menarik menurut Muntoha, ada satu syarat lagi yang disampaikan bupati kepadanya ditengah proses pembangunan, yakni mencari ‘molo’ ata ‘blandar’ kayu bangunan sebelumnya.
” Molo ini nantinya sebagian dipasang dan sebagian lagi disimpan untuk dijaga, atau dimusiumkan. Molo ini diyakini dari kayu jati alas purwa dan dibawa ke sini oleh Mbah Kalam secara goib,” ujarnya.
Muntoha mengatakan, Masjid Agung Nur Kalam secara umum diperuntukkan untuk semua umat Islam tanpa memandang aliran. Namun memang sebagai peninggalan kultur budaya walisongo ritual dan ibadah lebih identik dengan kultur nahdliyin.
“Sama seperti masjid-masjid peninggalan para wali, lebih ke kiltur nahdliyin, misal shubuh dengan qunut, atau sholat Jumat adzannya dua kali,” pungkasnya.
Penulis : Baktiawan Candheki
Editor : Amin Nurrokhman
Baca Juga