PUSKAPIK.COM, Brebes – Ternyata, di Brebes, ada kampung yang bisa dibilang masih perawan dan belum terpengaruh oleh budaya dari luar. Kampung ini masih mempertahankan budaya lokal.
Adalah Kampung Jalawastu yang berada di Kecamatan Ketanggungan, Brebes, dan masuk dalam wilayah Desa Ciseureuh. Oleh Pemerintah Kabupaten Brebes, kampung ini ditetapkan sebagai kampung budaya karena hingga kini masih mempertahankan adat budaya leluhur.
Lokasi kampung ini cukup jauh, sekitar 70 Km ke arah barat daya dari ibukota Kabupaten Brebes. Untuk menuju kampung ini harus melintasi jalan yang cukup menantang karena melintasi perbukitan.
Baca Juga
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes, Wijanarto, menjelaskan, dalam kehidupan sehari hari mereka menolak masuknya budaya moderen. Salah satu yang masih dijaga adalah adat membangun rumah tanpa semen dan keramik. Rumah-rumah milik warga di kampung ini menggunakan papan kayu sebagsi dindingnya dan lembaran seng sebagai atap. Bahkan untuk WC pun menggunakan kayu.
“Hampir 145 kepala keluarga yang ada di kampung ini tidak ada satupun yang memiliki rumah moderen. Semua bangunan rumah menggunakan bahan selain semen dan keramik. Mereka menggunakan papan sebagai dinding, seng untuk atapnya,” ujar Wijanarto di temui kampung Jalawastu, Selasa 30 Maret 2021 siang.
Warga kampung ini juga masih memegang teguh tradisi yang mereka anut. Mereka tidak ada yang berani melanggar tradisi yang sudah diyakini selama ratusan tahun.
Tak hanya itu, masyarakat sekitar juga pamali terhadap beberapa hal. Di antaranya dilarang mementaskan wayang, memelihara angsa, domba, dan kerbau, serta menanam bawang merah.
Menurut Wijanarto, penduduk setempat percaya, bila melanggar pantangan itu akan terkena musibah. Baik berupa bencana alam maupun kematian.
“Ada beberapa pantangan lain yang tidak boleh dilanggar. Seperti memelihara angsa, bebek, domba, kerbau dan menanam bawang merah. Tidak ada yang berani melanggarnya. Mereka percaya akan mendapat musibah,” jelasnya menambahkan.
Ada sebuah tradisi yang masih terus dilestarikan di kampung Jalawastu ini. Setiap tahun, warga Jalawastu menggelar upacara adat yang disebut Ngasa. Upacara ini dilakukan setiap Selasa kliwon mangsa ke sanga atau sembilan dalam kalender Jawa kuno. Pada tahun ini, jatuh pada hari ini, 30 Maret 2021.
Pelaksanaan upacara ini dipusatkan di dalam hutan yang dikeramatkan yakni Pesarean Gedong. Ada yang unik dalam ritual ini, yakni perjamuan makanannya sangat berbeda dengan perjamuan pada umumnya. Tidak ada nasi, lauk pauk daging atau ikan, telur dan berbagai jenis daging lainnya. Perjamuan makanan yang ada yaitu berupa jagung yang ditumbuk menjadi nasi dengan campuran lauk berupa umbi umbian.
Cara menyuguhkannya juga tanpa piring maupun gelas berbahan kaca. Mereka menggunakan piring enamel atau daun dan plastik. Alasannya, semua bahan dari kaca dan keramik itu diharamkan di tanah Jalawastu.
Upacara Ngasa ini dilakukan sebagai bentuk sodakoh gunung atas rahmat Tuhan yang Maha Esa yang sudah memberikan segala karunia.
“Ditilik dari sejarahnya, upacara Ngasa berasal dari budaya nenek moyang mereka yang beragama Hindu. Ini bisa dilihat dari pakaian adat peserta upacara serta bacaan puji pujian yang diperuntukan bagi dewa dewa. Tradisi Ngasa berarti pula perwujudan syukur kepada batara windu buana yang merupakan pencipta alam,” urai Wijanarto.
Kampung ini sudah ada sejak zaman Hindu Budha yang menganut agama Sunda Wiwitan. Hal ini bisa dilihat dari ketersambungan budaya dengan suku baduy. Kemudian seiring perjalanan waktu, masyarakat di sini banyak yang menganut Islam yang dibawa oleh Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga.
“Islam masuk melalui Sunan Kalijaga dan Gunungjati pada abad 15 sampai 16. Ini berdasarkam sejaran pitutur yang berkembang di masyarakat,” imbuhnya.
Akulturasi budaya Islam dengan agama nenek moyang disimbolkan dalam tradisi perang centong atau sendok nasi dari kayu. Perang ini menggambarkan dua jawara setempat yang menginginkan adanya perubahan adat istiadat dan yang tetap ingin mempertahankanya.
“Perang centong ini simbol perang antara Gandasari dan Gandawangi atau keyakinan lama dan baru. Dalam perang ini keyakinan baru menang, tapi tetap menjunjung keyakinan lama. Ini menggambarkan kondisi di kampung adat Jalawastu dimana ada akulturasi antara Islam dan Hindu dan Budha,” sambung Wijanarto.
Senada dengan Wijanarto, Ketua adat kampung Jalawastu, Dastam, mengatakan, sebelum masuknya Islam ada satu keyakinan yang dinamakan sunda wiwitan. Di sini ada keyakinan bahwa Batara Windubuana merupakan yang mencipta alam semesta yang dibantu oleh orang sakti Gurian Panutus. Ajarannya adalah kasih sayang kepada mahluk hidup baik manusia hewan maupun tumbuhan.
Kontributor: Fahri Latief
Editor: Amin Nurrokhman
Baca Juga