PUSKAPIK.COM, Tegal – Martabak, makanan khas asli Kecamatan Lebaksiu Kabupaten Tegal, ini kini sudah mendunia. Hampir di setiap kota di Indonesia, ditemukan cemilan ringan bernama martabak.
Makanan ini terbuat dari adonan campuran telur, daging, daun bawang yang diberi bumbu rempah. Sebelum digoreng, dibuat terlebih dulu lembaran sebagai pembungkus yang terbuat dari tepung.
Setelah itu lapisan tepung digoreng di atas wajan datar berisi minyak panas dan sejurus kemudian adonan telur didadar di atas lapolisan tepung tadi. Lembaran tepung kemudian dilipat agar adonan campuran telur tertutup rapat.
Baca Juga
Makanan bernama martabak ini sudah sangat familier di kalangan masyarakat. Di seluruh kota di Indonesia martabak dengan mudah ditemukan. Bahkan martabak juga sudah merambah sampai ke luar negeri.
Martabak merupakan makanan asal Kecamatan Lebaksiu Kabupaten Tegal. Ketua Almarian (Asli Lebaksiu Martabak dan Jajan), H Maskun mengatakan, menurut sejarahnya, makanan ini pertama kali dikenalkan oleh seorang saudagar asal India.
“Awal mula munculnya martabak telur ada di Lebaksiu Tegal itu menurut cerita pendahulu martabak itu tahun 1935 ada seorang saudagar dari India yang kebetulan usahanya martabak di Semarang. Kebetulan mendapatkan jodoh orang Lebaksiu Kidul, namanya Hj Masniah,” ucap H Maskun mengawali pembicaraan di rumahnya di Lebaksiu, Minggu 10 Oktober 2021.
Dalam menjalankan bisnisnya itu, Masniah mempekerjakan kerabat kerabatnya dari kampung. Mereka berjualan mengikuti acara keramaian seperti rolet (komedi putar) yang selalu berkeliling daerah.
Sepeninggal suaminya, wanita ini terus melanjutkan usahanya bersama para saudara dan kerabat dekatnya. Lama kelamaan, saudara atau tetangga yang dulu menjadi karyawanya mulai membuka usaha martabak sendiri. Seperti biasa, mereka selalu membuka lapak bila ada acara acara keramaian.
“Nah, saat keramaian itu usai dan berpindah ke tempat lain, mereka (penjual martabak) itu tidak ikut pindah. Mereka tetap menetap membuka usaha di tempat itu karena ternyata masyarakat setempat banyak yang suka. Setiap membuka usaha di tempat baru selalu membawa tetangga atau saudara, dan itu terjadi terus menerus di berbagai kota hingga akhirnya penjual martabak tersebar di seluruh kota,” ungkap Maskun.
Saat ini, hampir 80 persen warga Lebaksiu memiliki keahlian membuat martabak. Maksun melanjutkan, apapun pendidikan dan profesi warga Lebaksiu, tetap tidak bisa meninggalkan tradisi ysng sudah diwariskan secara turun temurun. Mereka kebanyakan memiliki keahlian dalam membuat martabak.
“Budaya membuat martabak harus ditanamkan. Teman teman saya ada yang anaknya di kedokteran atau apa, rata rata bisa martabak. Kecuali perempuan, kalau laki laki setengah wajib bisa martabak. Contohnya saya sendiri anak laki laki dua orang, sarjana semua. Saya terapkan kamu harus bisa, karena yang namanya bisa membuat martabak itu tidak ruginya. Kamu bisa hidup dimana saja, kalaupun jadi PNS tidak harus dia sendiri yang jualan, tapi bisa suruh orang lain. Itu kan bisa menambah ekonomi pendapatan keluarga,” terangnya.
Sebagai makanan tradisional, lanjut Maskun, makanan ini tetap disukai oleh masyarakat. Meski gerobak penjual martabak berderet, mereka tetap laku diserbu pembeli. Para pembelinya pun bukan hanya pendatang, melainkan pula warga asli Lebaksiu.
“Di Lebaksiu itu di jalan utama ada sekitar 20 an gerobak dan itu bertahan bertahun tahun. Itu artinya masih bisa untuk menghidupi kesehariannya. Padahal ini kota martabak, sumbernya martabak tapi orang sini yang jualan di luar kota dan kalau pulang ke kampung masih tetap beli martabak,” imbuhnya.
Maraknya gerobak penjaja martabak di Tegal menunjukan bahwa tradisi leluhur ini masih tetap tertanam dalam diri mereka. Mawardi (60) warga Lebaksiu mengaku, dikenalkan cara membuat martabak sejak usia 9 tahun.
“Sejak 1972 umur 9 tahun sudah ikut jualan dari mulai di Solo, Makasar, Bali sampai Bandung. Puluhan tahun jualan sampai akhirnya pulang ke kampung buka sendiri. Tradisi ini juga diikuti oleh anak anak saya, empat orang sudah menetap di Makasar jualan martabak,” bebermya.
Kontributor: Fahri Ltief
Editor: Amin Nurrokhman
Baca Juga