PUSKAPIK.COM, Pemalang – Mainan tradisional anak rupanya masih tetap eksis meskipun terseok-seok kemajuan zaman yang serba digital. Salah satu mainan tradisional anak yang tetap eksis hingga kini adalah kipas kertas.
Perajin mainan kipas kertas itu bisa ditemui di Desa Kaligelang Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang yang dikenal sebagai sentra mainan tradisional anak-anak, seperti Asiatun (53) dan Rohani (54).
Sudah puluhan tahun dua kakak beradik itu menekuni kerajinan mainan kipas kertas. Usaha kerajinan kipas mainan tersebut merupakan usaha turun temurun dari sang ibu.
Baca Juga
Meski terlihat sederhana, ternyata pembuatan mainan kipas yang terbuat dari kertas dan bambu ini memakan waktu cukup lama. Terutama dalam penyiapan bahan bambu.
“Gagang bambunya harus dikeringkan, dijemur dibawah sinar matahari, itu bisa 3 hari. Harus benar-benar kering, kalau enggak nanti bisa berjamur.” tutur Asiatun, Minggu 4 September 2022.
Butuh waktu lima hari lamanya untuk menyiapkan bahan bambu dan mewarnai kertas hingga mainan kipas kertas itu siap dirangkai. Dengan telaten Asiatun dan Rohani merangkai kipas kertas.
Biasanya mereka berdua merangkai mainan kipas kertas ini dari pukul 08.00 pagi hingga 16.00 WIB sore. Dalam sehari, keduanya bisa merangkai 100 mainan kipas kertas.
Asiatun mengungkapkan, saat ini usahanya terkendala pada bahan baku utama yaitu kertas yang kian sulit didapatkan, harganya pun semakin tinggi. Kendala itu membuat usahanya main loyo.
“Kita modal saja tidak dibantu dari pemerintah, jadi kita sekarang sulit untuk terus produksi. Alasan sampai sekarang masih bertahan karena untuk mengisi waktu luang saat dirumah,” jelasnya.
Asiatun dan Rohani mematok hasil kerajinannya itu dengan harga Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu untuk 100 kodi mainan kipas kertas.
Meskipun masih eksis, namun penjualan mainan anak-anak ini tentunya tak setinggi lima belas atau dua puluh tahun lalu, saat anak-anak belum disibukkan dengan smartphone (gadget).
“Sekarang susah menjual, satu kodi saja bisa berbulan-bulan baru terjual.” kata Asiatun.
Hasil kerajinan Asiatun dan Rohani itu sepi di pasar lokal. Namun justru banyak dikirim ke luar daerah seperti Jakarta, Bandung hingga Kalimantan. Pengirimannya biasanya setengah bulan sekali.
“Disini jarang ada tempat wisata yang mau ambil mainan ini untuk jadi salah satu cindera mata,” tuturnya.
Penulis : Eriko Garda Demokrasi
Baca Juga