PUSKAPIK.COM, Pemalang – Tragedi tumbangnya pohon beringin di Alun-alun Kabupaten Pemalang saat Salat Idul Fitri pekan lalu yang menewaskan empat warga Kelurahan Pelutan Pemalang, masih begitu membekas di benak masyarakat.
Kejadian yang menggemparkan itu pun masih jadi perbincangan. Kini, pohon-pohon beringin raksasa si Alun-alun ‘Kota Ikhlas’ itu dibabat. Tampak hanya tersisa beberapa pohon beringin dan pohon peneduh lainnya.
Berbicara soal pohon beringin di Alun-alun Kabupaten Pemalang. Rupanya, pohon yang kerap dianggap punya kesan angker di ruang publik pusat kota itu memiliki sejarah panjang dan seolah menjadi dua hal yang tak terpisahkan.
Pemerhati Budaya sekaligus sejarawan Kabupaten Pemalang, Koestoro (80), mengaku, masih ingat bagaimana tatanan Alun-alun Kabupaten Pemalang tempo dulu. Termasuk, ihwal adanya pohon-pohon beringin disana.
Koestoro sebagai salah satu tokoh yang terlibat dalam tim konseptor Hari Jadi Pemalang itu pun bercerita panjang mengenai sejarah Alun-alun Pemalang. Ia menyebut, kawasan tersebut sudah ada sejak Pemalang dipimpin Tedjo Soemirat.
“Kalau kawasan Alun-alun itu sudah ada sejak Tedjo Soemirat atau Pangeran Sangkolo Boewono (1618-1640).” ungkap Koestoro saat ditemui puskapik.com di rumahnya, Senin (7/4/2025).
“Dulu rumah pemimpin Pemalang ya yang sekarang jadi SMAN 3 Pemalang, halamannya termasuk Alun-alun, itu dikasih pagar.” jelasnya.
Sejak dahulu, kata Koestoro, pohon beringin yang kerap diartikan sebagai lambang pengayoman memang menjadi pakem dari Alun-alun di Jawa. Dimana setiap Alun-alun selalu ditanami beringin kembar, termasuk di Kabupaten Pemalang.
“Keraton Surakarta itu membuat aturan untuk daerah. Ada tatanan Pendopo, Masjid, Alun-alun, dan Pasar (red-Catur Gatra Tunggal). Alun-alunnya ada beringin kembar.” terang Koestoro.
Dua pohon beringin di Alun-alun adalah wujud keseimbangan dan keserasian hubungan dalam konsep Manunggaling Kawula Gusti, yaitu persatuan antara Raja dan rakyat serta kedekatan hubungan antara manusia dan Tuhan.
“Jadi kalau ditanya kapan ada beringin, ya sejak ada aturan itu. Tapi beringin yang ada sekarang itu sudah beda. Bukan beringin kembar yang dulu.” imbuhnya.
Bisa dikatakan pohon beringin dan Alun-alun sudah menjadi bagian dari sejarah Pemalang. Koestoro pun menyebut, bahkan pohon beringin di Alun-alun punya kaitan erat dengan penamaan makanan khas Pemalang, Lontong Dekem.
“Namanya dulu belum lontong dekem, tapi kupat dekem, pakainya ketupat. Jadi yang jualan itu penerangannya dari sentir (lampu teplok), terus yang beli makannya dibawah pohon beringin, ndekekem (duduk dengan kaki menekuk).” jelasnya.
Menanggapi tragedi tumbangnya pohon beringin di Alun-alun, pencipta Tari Selendang Pemalang ini melihat insiden tersebut sebagai musibah yang disebabkan faktor alamiah, yakni usia pohon yang sudah tua dan lapuk.
“Kita tidak ingin berandai-andai, jadi itu mungkin keropos, sudah tua, cabangnya juga mungkin besar-besar, batang utamanya tidak kuat.” kata Koestoro.
“Dan perlu diteliti pohon-pohon yang lain, kalau memang sudah tua dan membahayakan ya dipotong. Bukan cuma di alun-alun, di jalan-jalan lain juga mungkin perlu di cek.” pesannya. (**)
Berita Lainnya :
