PUSKAPIK.COM, Tegal – DPRD Kota Tegal mempertanyakan komitmen Pemerintah Kota Tegal dalam memberikan kebijakan alih fungsi lahan pertanian yang tersisa ratusan hektare untuk ketahanan pangan.
Sebab, selain menyisakan 266 hektare lahan pertanian produktif, Kota Tegal juga dihadapkan dengan gelombang intrusi air laut yang mencapai 970 hektare di beberapa kecamatan. Salah satu yang terbesar adalah di Kecamatan Margadana.
Ketua Komisi III DPRD Kota Tegal, Sutari mengatakan, alih fungsi lahan pertanian telah diatur dalam peraturan daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Secara literasi, aturan atau kebijakan itu berubah-ubah nama.
“Dulu ada namanya Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), sekarang namanya Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD). Harapan kami sekali lagi, salah satu yang sering kami sampaikan kepada Pemkot Tegal adalah komitmen apa dulu yang akan kita lakukan,” kata Sutari, Selasa (8/4/2025).
Berbicara ketahanan pangan, Sutari membaginya menjadi dua klasifikasi, yakni menyediakan dan menyiapkan bahan pangan atau menghasilkan bahan pangan.
Ketika menyiapkan, maka kita bisa mencari atau mengambil bahan dari luar sehingga stok pangan tercukupi. Namun, ketika berbicara ketahanan pangan yang include menghasilkan bahan pangan dari lahan yang ada, maka ini menjadi permasalahan yang berbeda.
“Begitu cerita kondisi ketahanan pangan yang kita semangatnya adalah menyiapkan lahan tanaman pangan ataupun lahan pertanian, maka komitmen itu harus diuji,” jelasnya.
Sutari mencatat, ada sekitar 970 hektare lahan di Kota Tegal, khususnya Kecamatan Margadana yang terdampak intrusi air laut. Hal itu terlihat di wilayah dekat TPA Bokong Semar, mulai dari wilayah Kelurahan Margadana ke Barat hingga Kelurahan Cabawan, Krandon dan Kaligangsa.
“Kita bisa hitung kok, ketika dalam satu hektare itu kondisi lahan pertanian bagus bisa menghasilkan 8-10 ton dan yang sedang mencapai 5-6 ton. Itu baru lahan pertanian,” bebernya.
Dijelaskan dia, intrusi air laut juga mengarah pada lahan perikanan darat atau tambak, yang hari ini juga masyarakat tidak bisa mengelola di wilayah itu, terkecuali dengan alih teknologi tertentu, sehingga dampak intrusi air laut bisa disiasati untuk tetap digunakan sebagai tambak. Namun, untuk melakukan hal itu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Untuk itu, perlu dilakukan kajian untuk menghitung ketahanan pangan dari sektor perikanan darat yang bisa dipertahankan, seandainya kembali kepada fungsi tambak. Sebab, sejauh ini tidak ada langkah dan upaya.
“Kami dari Komisi III mendorong Pemkot Tegal untuk berkonsultasi, untuk menyampaikan keinginan, melaporkan kondisi eksisting Kota Tegal kepada Kementerian PUPR, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Pertanian atau lainnya terkait kondisi intrusi air laut,” katanya.
Sutari mengaku pernah ke Jakarta untuk meminta Kementerian PUPR, KKP hingga Kementan, untuk turun ke lapangan melihat kondisi sumber daya airnya sejauh mana. Ketika akan dialihkan kembali ke kondisi semula dapat diketahui secara pasti kebutuhan yang perlu direncanakan, baik dari sisi pembiayaan maupun potensinya.
“Kondisi saat ini menjadi sebuah tantangan. Ini kan persoalan ketika bicara mengambil kebijakan melindungi petani dan petambak. Kita tidak mampu untuk memberikan kebijakan yang mendorong, memudahkan mereka dalam menjalakan aktivitas sebagai petani dan petambak,” ucapnya.
Politisi PDI Perjuangan ini menilai, Pemkot Tegal harus memiliki perencanaan yang matang. Karena situasi tidak memungkinkan, seperti halnya lahan pertanian dari sisi irigasi itu tidak memungkinkan, dari sisi sebagian terkena intrusi air laut sangat parah. (**)
Berita Lainnya :
