Opini  

Politik di Negeri Ini Tidak Lagi Berbasis Ideologi

Drs. Budhi Rahardjo MM, alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNDIP '79

Drs. Budhi Rahardjo, MM
Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNDIP ’79

MASIH dapat diingat jelas di otak saya, ketika dosen sistem politik, mengatakan kalau kita ingin tahu sistem politik satu negara jangan sekedar membaca konstitusinya, tetapi lihatlah praktik politik yang dijalankan. Begitu juga ketika kita ingin tahu ideologi partai politik, hendaknya jangan hanya membaca AD/ART-nya saja, tetapi amati praktik politiknya.

Pada zaman Orde Lama, parpol benar-benar sangat fanatik menjalankan ideologi politiknya. Misalnya PNI dengan ideologi Marhaenisme, PKI mengusung ideologi Komunisme, PSI berbasis ideologi Sosialisme, Masyumi dan Partai NU berbasis ideologi Islam. Di era Orde Baru, parpol yang berbasis ideologi Islam difusi menjadi satu di PPP, kemudian yang berbasis idologi Nasionalis Sekuler difusi dalam PDI kemudian Golkar mengusung ideologi Karya dan Kekaryaan.

Baca Juga

Loading RSS Feed

Pada perkembangan selanjutnya, rezim Orde Baru mengharuskan parpol memakai asas tunggal Pancasila. Pada saat itu Golkar yang tidak mau disebut partai politik mengusung slogan “Stop pertarungan ideologi, Golkar hendak membangun”.

Menurut pandangan saya, mulai saat itulah politik di negeri ini tidak lagi berbazis Idologi. Elite politik mulai mempertontonkan wajahnya sebagai “kaum hedonis” yaitu kaum yang menempatkan kekuasaan dan kenikmatan hidup, sebagai hal yang sangat penting untuk diperebutkan mati-matian dengan menghalkan segala cara. Kedaulatan yang dianut pada ajaran demokrasi, juga terang-terangan dipinggirkan posisinya dengan penyesatan paham dasar bahwa kedaulatan itu bukan milik anggota (rakyat) tatapi milik elite partai.

Pendidikan politik melalui kaderasi parpol sudah tidak pernah dilakukan, karena elite parpol tidak menghendaki anggotanya melek politik. Partisipasi politik diberangus dan yang ada adalah mobilisasi politik. Senjata saktinya adalah keputusan pimpinan partai sebagai pemilik partai atau seperti komisaris perusahaan pribadi. Loyalitas tegak lurus, ancaman sangsi organisasi sampai pemecatan bagi siapa pun yang tidak mengamini keputusan pimpinan partai yang sebenarnya jelas-jelas tidak aspiratif dan penuh rekayasa.

Pada saat menjelang Pilkada seperti ini paham hedonisme yang dianut elite politik, sangat jelas dapat disaksikan bersama, yang orientasinya hanya urusan transaksi materi (dibaca uang). Manipulasi proses pengambilan keputusan, yang tentunya didahului adanya politik pat-gulipat antara pimpinan partai dengan calon tidak bisa terbantahkan lagi. Pertimbangan isi tas calon menjadi skala prioritas, ketimbang kualitas dan kapabilitas calon dan itu menjadi tontonan yang sangat memuakan bagi rakyat.

Politik di Indonesia tidak lagi berbasis idologi, tapi sudah beralih menjadi transaksional bisnis politik. Ini menjadi faktor dominan yang menjadikan Kepala Daerah melakukan tindak korupsi.
Sampai kapan hal ini akan berakhir dan siapa yg mampu mengakhirinya?

Apakah para politisi di parlemen mau mengubah undang-undang yang mengatur sistem pemilihan langsung dengan azas “one man-one vote” untuk kembali sebagaimana semangat Sila ke-4 Pancasila.

Apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan, pertanyaannya apakah Presiden berani mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali menjalankan Pancasila yang murni dan konsekuen. Walaupun ini menjadi keputusan yang sangat tidak populer tentunya. Sebab itu adalah salah satu jalan yang dapat mengakhiri pesta pora elite politik dalam setiap Pilkada, yang nyata-nyata hanya melahirkan Pimpinan yang korup.

Pilkada tidak untuk memilih yang terbaik, tetapi mencegah agar jangan sampai terulang yang terburuk dapat berkuasa.

Loading

Baca Juga

Loading RSS Feed

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten dilindungi oleh Hak Cipta!!