Ketika Bencana Turun dari Kebijakan, Bukan dari Langit
- calendar_month Sab, 29 Nov 2025


Dua pernyataan yang beredar di media sosial X satu dari Andi Arief dan satu dari Muhammad Saididu menghidupkan kembali perdebatan yang selama ini menguap tanpa kesimpulan: apakah banjir bandang murni fenomena alam, atau sepenuhnya akibat kerakusan kebijakan ekonomi?
Kedua pandangan itu terlihat bertentangan, tapi sesungguhnya saling menjelaskan. Salah membaca keduanya berarti salah membaca akar bencana di negeri ini.
Tektonik yang Bergerak, Kebijakan yang Lalai
Dalam unggahannya, Andi Arief menegaskan bahwa banjir bandang kerap terkait aktivitas tektonik yang melapukkan tanah dan mengubah geomorfologi wilayah.
Pernyataan ini konsisten dengan riset geologi BRIN dan USGS: Sumatera, Sulawesi, dan kawasan timur Indonesia memang berada di zona gerakan tanah permanen.
Namun ada garis pembatas yang harus ditegaskan:
kerentanan alam tidak otomatis menjadi bencana jika pemerintah menjalankan tata kelola ruang yang bertumpu pada sains.
Sayangnya, peta risiko yang seharusnya menjadi dasar kebijakan justru diabaikan.
Infrastruktur berat, tambang, dan perkebunan besar dibiarkan tumbuh di wilayah yang secara geologi rapuh. Tektonik bergerak, kebijakan tetap lalai.
Serakahnomic: Ketika Ekonomi Menjadi Mesin Kerusakan
Di sisi lain perdebatan di X, Saididu menyebut bencana sebagai hasil dari serakahnomic: pola ekonomi yang menghancurkan ruang hidup demi keuntungan jangka pendek. Istilah ini politis, tetapi analisisnya sesuai dengan temuan ilmiah.
Data KLHK menunjukkan lebih dari separuh DAS kritis Indonesia berada di wilayah industri ekstraktif.
- Penulis: Guntur
- Editor: Nia

























