Legenda Guci Sakti Sunan Gunungjati di Lereng Gunung Slamet
- calendar_month 2 jam yang lalu


SLAWI, puskapik.com – Desa Guci, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal menyimpan banyak misteri dan keajaiban. Desa yang berada di lereng Gunung Slamet bagian utara ini memiliki legenda Guci Sakti milik Sunan Gunungjati Cirebon. Konon, guci sakti tersebut mampu menyembuhkan penyakit warga di lereng Gunung Slamet.
Dilansir dari P2K Stekom, pada tahun 1767 bangsawan dari Kesultanan Demak, Raden Aryo Wiryo, meninggalkan keraton karena jenuh dengan konflik internal. Bersama istrinya, Nyai Tumbu, Raden Aryo Wiryo mengabdi di Kesultanan Mataram pada masa kejayaan Sultan Agung Hanyorokusumo. Ia ditugaskan Sultan Agung untuk berangkat ke Cirebon pada masa itu.
Setelah itu, Raden Aryo Wiryo kembali mengembara hingga sampai di lereng Gunung Slamet sebelah utara dan menetap di daerah tersebut. Ia menjadi orang pertama yang membuka lahan perkampungan di tempat itu. Banyak orang kemudian berdatangan untuk berguru kepadanya. Oleh karena itu, Raden Aryo Wiryo memberi nama tempat tersebut Kampung Keputihan, daerah yang masih asli dan belum terjamah peradaban agama selain Islam.
Suatu saat datang seorang pengembara dari Pesantren Gunung Jati, santri Sunan Gunung Jati bernama Kyai Elang Sutajaya, yang bermaksud menyebarkan agama Islam. Raden Aryo Wiryo beserta pengikutnya kemudian berkenan mendalami ajaran Islam untuk lebih memantapkan keimanan.
Pada masa itu, Kampung Keputihan dilanda wabah pageblug berupa tanah longsor dan penyakit gatal-gatal. Kyai Elang Sutajaya mengajak Raden Aryo Wiryo dan warga untuk berdoa kepada Allah SWT melalui ritual yang kini dikenal sebagai ruwat bumi dengan menyembelih kambing kendit. Selain itu, disajikan hasil bumi seperti pala pendem dan sayur-mayur yang disedekahkan kepada fakir miskin. Ritual tersebut dilakukan pada bulan Suro atau Muharam dan berlangsung turun-temurun hingga sekarang.
Saat doa bersama berupa tasyakuran, tahlilan, dan manaqib, Kanjeng Sunan Gunung Jati berkenan hadir secara gaib dan memberikan sebuah Guci Sakti yang telah diisi doa. Air dari guci tersebut diminum oleh warga yang terserang wabah gatal, serta disiramkan di sudut-sudut Kampung Keputihan untuk menghilangkan kerusakan akibat bencana alam.
Dalam peristiwa tersebut, Raden Aryo Wiryo bersama Kyai Elang Sutajaya menemukan sumber mata air panas di bawah sebuah gua yang kini dikenal sebagai Pancuran 13.
Guci Sakti kemudian ditempatkan di sebuah dukuh tempat Raden Aryo Wiryo biasa bersemedi, yang kini dikenal sebagai Telaga di Dukuh Engang, Desa Guci. Karena kekeramatan Guci Sakti tersebut, Kampung Keputihan pulih kembali dan terbebas dari pageblug. Untuk mengenang peristiwa itu, Kampung Keputihan diubah namanya menjadi Desa Guci.
Guci Sakti tersebut kini berada di Museum Nasional. Pada masa Adipati Cokroningrat dari Brebes, guci tersebut dipindahkan dari Desa Guci ke pendopo Kadipaten Brebes, karena saat itu Desa Guci masih menjadi bagian dari Kabupaten Brebes.
Untuk lebih membaur dengan warga, Raden Aryo Wiryo menggunakan nama samaran Kyai Ageng Klitik atau akrab disebut Kyai Klitik. Penyamaran ini juga dimaksudkan untuk menghindari kejaran penjajah Belanda terhadap keturunan bangsawan keraton.
Hingga kini tidak diketahui secara pasti makna dan asal-usul namanya. Kyai Klitik juga menemukan mata air panas lain yang kini dikenal sebagai Pemandian Kasepuhan dan Pemandian Pengasihan. Pemandian tersebut dipercaya berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit kulit dan tulang, serta sebagai sarana mengabulkan hajat tertentu bagi yang meyakininya.
Konon, pemandian tersebut digunakan untuk penjamasan atau memandikan keris Kyai Klitik agar pamornya menjadi sepuh, sehingga dinamakan Kasepuhan. Kini, tempat tersebut dimanfaatkan sebagai pemandian umum yang ramai dikunjungi.
Seiring semakin ramainya Desa Guci, datang pula seorang pengembara bernama Mbah Segeong yang bertapa di dalam gua yang kini dikenal sebagai Gua Segeong, terletak sekitar 350 meter di sebelah selatan Pos I Retribusi.
Saat Kyai Elang Sutajaya mensyiarkan agama Islam, ia kerap bersemedi di atas sebuah bukit yang banyak terdapat hewan badak atau warak dalam bahasa Jawa. Oleh karena itu, tempat tersebut disebut Kandang Warak, yang kini menjadi nama Dukuh Pekandangan di sebelah timur Desa Guci. **
- Penulis: Guntur
- Editor: Nia

















