Banjir Bandang Guci Tegal, Ini Penyebab dan Penanganan
- calendar_month 1 jam yang lalu


SLAWI, puskapik.com – Banjir bandang di Sungai Gung, wilayah Desa Guci, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, menggemparkan masyarakat Indonesia pada Sabtu (20/12/2025).
Banjir yang membawa material pipa air panas tersebut diduga disebabkan oleh alih fungsi lahan di lereng Gunung Slamet.
“Melihat kerusakan hutan di lereng Gunung Slamet, sangat wajar jika saat musim hujan terjadi banjir hingga air meluap ke Sungai Gung Guci,” kata Ketua Aliansi Pemerhati Lereng Gunung Kabupaten Tegal, Abdul Khayyi, Senin (22/12/2025).
Abdul Khayyi mengaku telah memprediksi terjadinya bencana banjir di wilayah Kabupaten Tegal.
“Di atas kawasan Guci, tepatnya di wilayah Igir Cowet hingga Sawangan, kondisi hutan lindung sudah rusak berat. Saat ini hampir tidak ada vegetasi hutan, yang ada hanya tanaman kentang dan sayuran. Kerusakan ini sudah terjadi cukup lama,” ujar Pemerhati Lereng Gunung tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun, luas hutan lindung yang rusak di wilayah Kabupaten Tegal mencapai sekitar 49 hektare, sementara di wilayah Kabupaten Brebes diperkirakan mencapai 150 hektare.
Menurut Abdul Khayyi, dengan kondisi hutan di bagian hulu yang rusak parah, banjir yang terjadi saat musim hujan merupakan hal yang tidak bisa dihindari.
“Melihat kerusakan seperti itu, sangat wajar jika saat musim hujan terjadi banjir hingga air meluap ke Sungai Gung Guci,” bebernya.
Ia juga menyampaikan bahwa pihaknya telah berulang kali mengingatkan para pemegang kebijakan agar segera mengambil langkah antisipatif, salah satunya melalui reboisasi dari wilayah Igir Cowet hingga Sawangan, serta melakukan edukasi kepada masyarakat agar tidak kembali merusak hutan.
“Kami sudah beberapa kali berdiskusi dengan Perhutani dan pemerintah daerah. Namun yang dilakukan selama ini masih sebatas di permukaan. Manajemen pemeliharaan setelah penanaman masih sangat kurang,” jelasnya.
Ia mencontohkan kegiatan penanaman bersama yang sering dilakukan, namun setelah bibit ditanam tidak ada tindak lanjut perawatan.
“Penanaman harus dibarengi dengan manajemen pemeliharaan yang baik, bukan hanya seremonial,” tegasnya.
Abdul Khayyi menilai musim hujan saat ini merupakan momen paling tepat untuk melakukan reboisasi hutan yang rusak.
“Kalau ditanam pohon keras di musim hujan dan tidak dirusak oleh manusia, saya yakin akan tumbuh dengan baik,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa banjir besar yang terjadi beberapa hari lalu kemungkinan baru permulaan, mengingat tingkat kerusakan hutan di wilayah hulu sudah sangat masif.
“Oleh karena itu, mari kita rumuskan solusi bersama. Kalau masih ragu, ayo kita naik langsung ke lereng gunung untuk melihat kondisi kerusakan hutan yang sebenarnya,” ajaknya.
Ia mengajak seluruh pihak, mulai dari dinas terkait, Perhutani, pelaku wisata Guci (PHRI), hingga masyarakat, untuk bersama-sama mencari solusi terbaik.
“Setelah melihat langsung kondisi di lapangan, kita akan paham bahwa kondisi alam di lereng Gunung Slamet sudah tergolong kritis. Dulu pernah dilakukan penanaman bersama pemerintah daerah, tetapi saat itu masuk musim kemarau. Sekarang ini justru momen yang tepat karena sudah masuk musim hujan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa hutan harus dikembalikan ke fungsi utamanya sebagai kawasan resapan air.
“Yang membuat kami miris, hutan lindung justru digunduli dan dijadikan lahan pertanian. Ini yang harus segera dihentikan,” pungkasnya. **
- Penulis: Guntur
- Editor: Nia





















