DI TENGAH mewabahnya pandemi Covid-19, krisis ekonomi mengancam Indonesia. Warga kelas menengah ke bawah tersentak, setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan social distancing. Pembatasan ruang gerak warga dan ruang-ruang publik, berdampak tersendatnya aktivitas ekonomi, bahkan sebagian terhenti total.
Benar bahwa pemberlakuan social distancing bertujuan menekan penyebaran virus corona. Tak salah. Karena pemerintah tentu bertanggung-jawab melindungi warganya dari wabah penyakit yang mematikan ini. Jumlah korban harus ditekan seminimal mungkin (jika belum bisa dibasmi secara tuntas), agar korban tidak terus berjatuhan.
Pro kontra pun bermunculan. Sebagian publik menilai, kebijakan pemerintah sudah tepat. Bahkan tak sekedar social distancing, pemberlakuan lockdown atau isolasi wilayah sudah perlu diberlakukan. Harapannya, wabah Covid-19 tak menjalar kemana-kemana.
Baca Juga
Namun sebagian lagi menilai, hal itu belum perlu dan dianggap bentuk kepanikan yang berlebihan. Apalagi kebijakan ini tidak diimbangi dengan skenario kebijakan dampak sosial dan ekonominya, khususnya warga kelas bawah.
Panik berlebihan? Bisa iya, bisa juga tidak. Ketakutan ini tentu cukup beralasan, mengingat saat ini jumlah warga yang dinyatakan positif terkena virus corona di Indonesia tercatat sebanyak 579 kasus, 49 diantaranya meninggal dunia. Tentu angka yang tidak bisa dipandang remeh.
Bahkan di tengah segala keterbasan peralatan yang serba minim, tenaga medis harus berjibaku menangani pasien corona. Dari soal alat pelindung diri (APD), obat-obatan, peralatan medis, hingga rumah sakit rujukan yang serba minim. Dampaknya, antrean panjang warga yang sakit dan belum tertangani, padahal membutuhkan pertolongan, makin menyumbang kepanikan.
Tentu kita tak bisa menyalahkan begitu saja upaya pemerintah dalam soal penanganan secara medis yang ‘carut-marut’ ini. Segala daya dan upaya terus dilakukan Presiden Jokowi dengan perangkat yang ada dari pemerintah pusat hingga daerah. Kita apresiasi dan mendukung langkah yang sudah ditempuh. Tapi suara-suara kritis juga harus didengar, agar pemerintah lebih maksimal dalam mengatasi petaka corona ini.
Pandemi Covid-19 tentu tak hanya mengakibatkan darurat kesehatan, tapi juga menghajar telak ekonomi negeri. Apalagi, sejumlah peneliti memperkirakan, puncak wabah corona akan terjadi pada akhir Maret hingga awal April mendatang. Bahkan, beberapa studi menyampaikan, wabah ini masih berjalan hingga Mei. Melihat situasi seperti ini, ledakan krisis ekonomi bakal sulit dibendung.
Rakyat yang tak bisa kemana-mana dan terhenti mata pencahariannya, tentu harus diselamatkan. Pemerintah harus secepatnya mengambil langkah dan kebijakan menyelamatkan ekonomi, minimalnya memenuhi kebutuhan pokok warganya. Jika pemerintah gagal mengatasi dampak ekonomi akibat corona ini, situasi terburuknya adalah terjadi kerusuhan sosial. Tentu kita sebagai anak bangsa, tak ingin ini terjadi.
Situasi terburuk harus sesegera mungkin diantisipasi pemerintah. Karena prioritas utama selain soal menekan agar Covid-19 tidak terus menjalar, adalah menyelamatkan warga negara dari dampak ekonominya. Pemerintah harus membuat skenario kebijakan dengan menyalurkan insentif ke program pangan, untuk meredam kemarahan sosial akibat hilangnya pekerjaan dan mata pencaharian warganya.
Tentu tidak sedikit anggaran yang dibutuhkan untuk menyuplai kebutuhan pangan 270 juta lebih warga negara Indonesia. Tapi hal itu harus dilakukan, mengingat dampak ekonomi yang sangat menghantam warga kelas bawah. Apalagi, situasi ini belum akan berhenti karena wabah corona terus meluas.Â
Duitnya dari mana? Dalam situasi buruk seperti ini, pemerintah harus menunda dan menghentikan untuk membangun proyek-proyek mercusuar, baik di tingkat pusat hingga daerah. Merelokasikan anggaran negara dan anggara daerah untuk warga yang terdampak wabah ini adalah solusi terbaik. Pejabat negara, pejabat daerah hingga aparat sipil negara (ASN) harus legawa kehilangan tunjangan dan bermacam-macam fasilitasnya. Anggaran perjalanan dinas aparat pemerintah dan wakil rakyat harus dipangkas habis untuk dialihkan mengatasi dampak buruk yang terjadi.
Tentu ini bukan hanya tanggung-jawab pemerintah, tapi tanggung-jawab seluruh warga negara. Untuk itu, mari kita sama-sama berpikir jernih dan legawa, agar bangsa ini terbebas dari wabah corona dan segala dampaknya. Sisi kemanusiaan kita diuji dengan adanya wabah ini. Semoga Tuhan senantiasa melindungi kita semua dari segala marabahaya. Al Fatihah….
Hati-hati tak berarti panik. Waspada, tak harus takut. Jangan biarkan mental kita kalah. Jangan sampai kita ‘sakit’ sebelum terserang penyakit. Yakinlah, kita tak sendirian, kita hadapi ini bersama. #bersamakitabisa #bersatumelawancorona
Semangat pagi Indonesia….
Heru Kundhimiarso – Pemimpin Umum
Baca Juga