
Enam Hari Sekolah, Antara Kebijakan Pendidikan dan Manuver Politik
Senin, 24 November 2025 | 11.09 Oleh: Redaksi Puskapik
Wacana pengembalian jadwal sekolah enam hari di Jawa Tengah kembali memicu perdebatan. Wakil Gubernur Taj Yasin menyebut kebijakan ini sebagai bentuk “perlindungan anak” dari aktivitas negatif di luar
Wacana pengembalian jadwal sekolah enam hari di Jawa Tengah kembali memicu perdebatan. Wakil Gubernur Taj Yasin menyebut kebijakan ini sebagai bentuk “perlindungan anak” dari aktivitas negatif di luar sekolah. Namun, narasi itu tak bisa dilepaskan dari konteks politik yang mengiringinya — terutama ketika beredar informasi bahwa salah satu lembaga pendidikan milik ormas tertentu mengalami penurunan jumlah murid.
Di sinilah masalahnya. Ketika pejabat publik berbicara soal kesejahteraan anak, tetapi kebijakan yang dikeluarkan justru berpotensi menguntungkan organisasi tertentu, publik patut bertanya: apakah ini kebijakan pendidikan atau manuver politik?
Pendidikan tidak boleh dimasuki unsur politik dengan mengorbankan ritme hidup anak dan beban guru. Sekolah adalah ruang akademik, bukan arena pengamanan dukungan.
Mutasi Guru: Sinyal Ketergesaan Kebijakan
Dinas Pendidikan Jateng telah memutasi guru hingga kepala sekolah agar lebih dekat dengan domisili sebagai langkah menuju sistem enam hari sekolah. Padahal, kebijakan ini belum final dan baru sebatas FGD.
Langkah operasional yang sudah berjalan lebih dulu daripada kajian akademik mengindikasikan ketidaksiapan, bahkan menunjukkan adanya target non-pedagogis. Cabang Dinas Wilayah V pun mengakui bahwa informasi resmi belum sampai ke sekolah.
Kebijakan pendidikan sebesar ini tidak seharusnya dipaksakan tanpa kajian matang — apalagi jika aroma politiknya terlalu kuat.
Perbandingan Sistem Pendidikan Negara Maju
Untuk menilai relevansi kebijakan enam hari sekolah, mari melihat praktik di negara-negara maju:
Finlandia – 5 hari sekolah, jam belajar pendek, fokus pada kualitas.Jepang – dulu 6 hari sekolah, kini 5 hari untuk menekan stres dan meningkatkan kesejahteraan siswa.
Korea Selatan – menghapus sistem 6 hari karena anak mengalami burnout berat.
Singapura & Amerika Serikat – 5 hari, kurikulum efisien, ruang eksplorasi di luar sekolah diperkuat.
Tidak satu pun negara maju memakai pendekatan “semakin lama di sekolah, semakin aman.” Justru mereka memperkuat quality of learning, bukan menambah durasi.
Poin-Poin Penting UNESCO
UNESCO memiliki pedoman yang sangat jelas untuk waktu belajar, perkembangan anak, dan desain sistem pendidikan. Poin relevannya adalah:
Keseimbangan waktu belajar–keluarga–masyarakat harus dijaga.
Jam dan hari belajar tidak boleh berlebihan karena mengurangi kualitas pembelajaran.
Kesejahteraan peserta didik (student wellbeing) harus menjadi dasar pengambilan kebijakan.
Pembelajaran bermakna dan kreatif lebih penting daripada durasi fisik di sekolah.
Empat poin ini menunjukkan bahwa kebijakan enam hari sekolah tidak sesuai arah pendidikan global.
Kemampuan Anak Berpikir dalam Satu Minggu
Dari sisi neurosains:
Kapasitas fokus efektif siswa hanya 4–5 jam per hari.
Otak membutuhkan dua hari libur berturut-turut untuk pemulihan kognitif.
Belajar terlalu sering menyebabkan kelelahan mental, penurunan motivasi, dan melemahkan daya kritis.
Efektivitas belajar menurun drastis pada hari ke-6.
Dengan kata lain, memaksakan sistem enam hari sekolah justru berpotensi merusak performa belajar siswa.
Penutup: Pendidikan Bukan Alat Politik
Kebijakan enam hari sekolah bukan sekadar isu teknis, melainkan keputusan yang berpotensi mengubah ritme hidup jutaan anak. Ketika di satu sisi ada lembaga pendidikan milik ormas tertentu yang kehilangan murid, dan di sisi lain pemerintah memunculkan narasi “perlindungan anak” yang sangat politis, wajar jika publik kritis.
Pendidikan tidak boleh dipakai untuk konsolidasi kepentingan. Tidak boleh dirumuskan tergesa-gesa.
Tidak boleh menabrak kajian ilmiah, rekomendasi UNESCO, dan praktik negara-negara maju.
Anak bukan objek politik. Mereka adalah masa depan bangsa — dan masa depan itu tidak boleh dikorbankan demi manuver siapa pun.
(Rudi Yahya, pengamat kebijakan publik Purbalingga)


