Puskapik.com - Kanal Berita Pantura Jateng
Menumbuhkan Empati di Dunia Pendidikan: Dari Kecerdasan Emosional ke Etika Berbahasa

Menumbuhkan Empati di Dunia Pendidikan: Dari Kecerdasan Emosional ke Etika Berbahasa

Senin, 20 Oktober 2025 | 11.06 Oleh: Redaksi Puskapik

Oleh: Dr. Nur Aflahatun, M.Pd Dosen dan Pemerhati Pendidikan Universitas Pancasakti Tegal Kasus perundungan yang menimpa Timothy Anugerah, seorang mahasiswa yang menjadi korban bullying hingga be

Oleh: Dr. Nur Aflahatun, M.Pd Dosen dan Pemerhati Pendidikan Universitas Pancasakti Tegal Kasus perundungan yang menimpa Timothy Anugerah, seorang mahasiswa yang menjadi korban bullying hingga berakhir tragis, mengguncang nurani publik. Peristiwa ini bukan hanya menyisakan duka mendalam, tetapi juga menggugah kesadaran kita bahwa lembaga pendidikan — yang semestinya menjadi ruang aman untuk tumbuh dan belajar — masih menyimpan sisi gelap yang kerap diabaikan. Bullying di dunia pendidikan, baik di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi, tidak dapat lagi dianggap sebagai perilaku remaja yang 'wajar' atau sekadar bentuk keisengan antar teman. Ia adalah bentuk kekerasan psikologis dan sosial yang berdampak panjang terhadap kepercayaan diri, kesehatan mental, bahkan masa depan korban. Dalam banyak kasus, luka yang ditinggalkan tidak terlihat secara fisik, tetapi menggerogoti batin pelaku dan korban secara diam-diam. Kecerdasan Emosional dan Empati dalam Pendidikan Psikolog Daniel Goleman (1995) memperkenalkan konsep emotional intelligence atau kecerdasan emosional, yaitu kemampuan seseorang untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara sehat serta memahami perasaan orang lain. Lima komponennya — self-awareness, self-regulation, motivation, empathy, dan social skills — menjadi fondasi penting dalam membangun hubungan sosial yang harmonis. Pelaku bullying sering kali menunjukkan rendahnya kecerdasan emosional: tidak mampu mengontrol emosi, kurang empati, dan menjadikan dominasi sebagai sarana untuk diakui. Sementara korban, hidup dalam tekanan sosial yang membuatnya kehilangan harga diri dan rasa aman. Maka, pendidikan karakter yang menumbuhkan empati menjadi langkah strategis untuk memutus rantai kekerasan dalam dunia pendidikan. Etika Berbahasa: Fondasi Kesantunan dan Kemanusiaan Bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga cermin moral, budaya, dan kepribadian. Dalam pandangan ahli pragmatik Geoffrey Leech (1983), kesantunan berbahasa (politeness principle) berfungsi menjaga harmoni sosial dengan menghormati perasaan dan muka (face) lawan bicara. Ia menekankan nilai-nilai seperti kebijaksanaan, kerendahan hati, dan kesepakatan dalam berkomunikasi. Sementara itu, H. Paul Grice (1975) melalui cooperative principle mengingatkan pentingnya berbicara dengan cara yang relevan, jujur, jelas, dan sopan agar komunikasi berjalan efektif dan etis. Ketika prinsip-prinsip ini diabaikan, maka yang lahir bukanlah dialog, melainkan dominasi dan konflik. Etika berbahasa dalam konteks pendidikan mencakup kemampuan menyesuaikan bahasa dengan situasi, menghormati lawan bicara, dan menghindari ujaran yang melukai perasaan. Bahasa yang santun bukanlah basa-basi; ia adalah bentuk penghargaan terhadap martabat manusia. Mengajarkan etika berbahasa berarti mengajarkan cara berpikir yang beradab — bagaimana menyampaikan kritik tanpa menghina, menolak tanpa menyinggung, dan bercanda tanpa merendahkan. Pendidikan semacam ini akan melahirkan peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga dewasa secara sosial. Dari Teori Menuju Aksi: Membangun Budaya Komunikasi Empatik Untuk mencegah kasus perundungan terulang, lembaga pendidikan perlu menanamkan dua nilai inti: kecerdasan emosional dan etika komunikasi. Keduanya saling melengkapi — kecerdasan emosional mengajarkan empati, sementara etika berbahasa mengajarkan ekspresi empati secara bermartabat. Kampus dan sekolah dapat mulai dengan: 1. Menyusun kebijakan anti-bullying yang disertai edukasi komunikasi empatik; 2. Menyelenggarakan pelatihan emotional literacy dan ethical communication bagi dosen, guru, serta mahasiswa; 3. Membangun tradisi akademik yang terbuka terhadap kritik namun tetap beradab dalam penyampaian. Refleksi: Pendidikan yang Memanusiakan Tragedi yang menimpa Timothy adalah alarm keras bagi dunia pendidikan. Ia menegaskan bahwa keberhasilan akademik tanpa kecerdasan emosional dan etika sosial hanya akan menghasilkan manusia pandai tetapi miskin empati. Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. Dan itu hanya bisa terwujud bila setiap individu di dalamnya belajar berkata dengan santun, mendengar dengan empati, serta menghargai setiap perbedaan. Bullying bukan sekadar pelanggaran disiplin, melainkan pelanggaran terhadap kemanusiaan. Jika lembaga pendidikan gagal menumbuhkan empati dan kesantunan, maka kita telah kehilangan makna sejati dari kata mendidik. **
Bagikan: